pranala.co – Pemindahan Ibu Kota Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) dari Banjarmasin ke Banjarbaru memperoleh penentangan banyak pihak. Pemindahan tersebut sudah resmi menyusul pengesahan Undang-Undang Provinsi Kalsel oleh DPR RI pada 15 Februari 2022 lalu.
Ini membuat masyarakat Banjarmasin bersama Pemerintah Kota Banjarmasin disebut menolak ketentuan dalam UU.
Pemindahan ibu provinsi dianggap tanpa melibat pihak terkait, dalam hal ini masyarakat Banjarmasin. Sebaliknya mengakomodasi kepentingan oknum masyarakat yang pro pada pemindahan Ibu Kota Provinsi Kalsel.
“Masyarakat membuat pernyataan tidak mendukung terkait pemindahan Ibu Kota Kalsel, karena mendadak dan tidak pernah diundang sharing pendapat, loka karya, seminar, diskusi dan bentuk partisi masyarakat lainnya,” kata Staf Ahli Hukum Pemkot Banjarmasin Lukman Fadlun belum lama ini.
BACA JUGA: Review Film KKN di Desa Penari yang Baru Saja Tayang
Lukman mengatakan, Pemkot Banjarmasin ingin tetap mempertahankan status kotanya sebagai Ibu Kota Provinsi Kalsel. Ia pun menyayangkan pengesahan UU Kalsel tersebut yang terkesan dipaksakan pengesahannya.
Masyarakat dan Pemkot Banjarmasin, menurut Lukman, tidak pernah dilibatkan dalam perumusan UU Kalsel. Di mana dalam salah satunya pasalnya mengatur tentang pemindahan Ibu Kota Provinsi Kalsel dari Banjarmasin menjadi Banjarbaru.
“Bertentangan dengan Pasal 1 ayat 3 tentang kedaulatan rakyat. Kemudian Pasal 28 yang setiap masyarakat memiliki hak,” katanya.
Karenanya, Pemkot Banjarmasin mendukung aspirasi forum masyarakat yang akan membentuk Dewan Kelurahan. Sebagai bentuk penolakan pemindahan Ibu Kota Provinsi Kalsel dari Banjarmasin menjadi Banjarbaru.
BACA JUGA: Lapas Samarinda Temukan 65 Gram Sabu Dalam Lampu Sorot Milik Napi
Seperti diketahui, Forum Kota Banjarmasin memberikan kuasa kepada Direktur Borneo Law Firm (BLF) Muhamad Pazri dalam pengajuan uji materi UU Kalsel kepada Mahkamah Konstitusi (MK). Forum ini berisikan perwakilan dari Dewan Kelurahan, masyarakat, dan DPRD Banjarmasin.
Dalam keterangannya, Pazri menyatakan, gugatan uji materi ke MK menjadi ikhtiar dalam mengembalikan marwah Ibu Kota Provinsi Kalsel. Ia berpendapat, Banjarmasin memiliki nilai sejarah yang kuat keberadaan Provinsi Kalsel. Di mana di zaman dulu di Banjarmasin terdapat Kesultanan Banjar dengan Sultan Suriansyah sebagai raja pertama.
“Ini sejarah yang mengakar dari dulu sampai sekarang. Ternyata substansi itu ditinggalkan pada saat pembentukan UU No 8 tahun 2022. Ini menunjukkan para pembentuk undang-undang mengabaikan aspek sejarah ini,” tambahnya
Selain itu, Pazri pun mengkritik perumusan UU Kalsel yang tanpa melibatkan masyarakat Banjarmasin. Menjadi dasar kuat masyarakat dalam melayangkan gugatan uji materi.
“Sehingga secara filosofis, yuridis, dan normatif, dasar kita mengajukan judical review cukup kuat. Melalui momentum ini mudah-mudahan dikabulkan, dan kita tidak akan mundur sesuai jargon waja sampai kaputing,” tegasnya.
BACA JUGA: Sabu 1,9 Kg dari Samarinda Gagal Edar di Sulawesi
Komitmen yang memperoleh dukungan dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Banjarmasin dalam melayangkan gugatan ke MK.
Ketua Kadin Banjarmasin M Akbar Utomo Setiawan menuturkan, pihaknya ikut menempuh jalur sengketa ke MK lantaran pemindahan status ibu kota diyakini merugikan para pengusaha Banjarmasin.
“Potensi kerugian mencapai triliunan rupiah, berdasar kajian Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Barenlitbangda) Kota Banjarmasin. Sebab biasanya, event-event berskala nasional tentu akan terpusat di ibu kota provinsi. Termasuk pembangunan infrastruktur dari APBN,” tuturnya.
“Saat ini mungkin belum terasa, tapi dampaknya bisa dua sampai lima tahun ke depan,” tambah Akbar. (red/js/idn)
Discussion about this post