PEMANGKASAN anggaran pendidikan yang diusulkan oleh pemerintah untuk tahun 2025 bukan hanya sebuah kebijakan ekonomis, tetapi sebuah pembunuhan pelan-pelan terhadap harapan dan masa depan generasi muda Indonesia. Ketika efisiensi menjadi alasan utama, kita harus mempertanyakan: apakah memang bijaksana mengorbankan masa depan bangsa demi angka-angka yang menggiurkan dalam laporan anggaran negara?
Pertama, mari kita lihat dampaknya pada program beasiswa. Pemotongan besar-besaran terhadap Beasiswa KIP-Kuliah, BPI, Adik, dan KNB yang merupakan jalur utama bagi mahasiswa dari keluarga kurang mampu untuk melanjutkan pendidikan tinggi.
Kita berbicara tentang mengurangi anggaran sebesar lebih dari Rp2 triliun dalam total beasiswa, yang akan berakibat pada berkurangnya penerima manfaat dan menurunnya jumlah beasiswa yang diberikan. Jika pemerintah bertindak seperti ini, apakah mereka benar-benar peduli dengan peningkatan kualitas pendidikan? Atau mereka lebih peduli dengan efisiensi anggaran yang merugikan rakyat?
Seperti yang tertuang dalam Pasal 31 UUD 1945, negara berkewajiban untuk menyediakan pendidikan yang layak bagi warganya. Ini bukan hanya janji dalam konstitusi, tetapi juga hak fundamental setiap warga negara. Pemangkasan ini jelas bertentangan dengan prinsip keadilan sosial yang seharusnya menjadi dasar dalam setiap kebijakan negara. “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” seharusnya tidak hanya retorika belaka, melainkan harus terwujud dalam kebijakan nyata.
Lalu, pemangkasan ini tidak hanya berdampak pada beasiswa, tetapi juga pada BOPTN dan dana riset. Berkurangnya dana untuk operasional perguruan tinggi bisa mengarah pada kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT), yang pada akhirnya memberatkan mahasiswa, khususnya mereka yang berada di keluarga menengah ke bawah. Bahkan, jika skenario terburuk terjadi, pendidikan tinggi yang seharusnya dapat diakses oleh semua kalangan justru menjadi hak bagi segelintir orang yang mampu. Bukankah ini kontradiktif dengan tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa?
Begitu pula dengan dana riset yang semakin tergerus. Pengurangan dana penelitian akan membatasi kemampuan perguruan tinggi untuk menghasilkan riset dan inovasi yang dapat bersaing di dunia internasional. Dalam dunia yang semakin bergantung pada teknologi dan pengetahuan, apakah kita masih ingin menjadi bangsa yang tertinggal?
Maka dari itu, kita harus mengingat adagium hukum yang berbunyi, “Fiat justitia ruat caelum” yang berarti “Hukum harus ditegakkan, meskipun langit runtuh.” Kita perlu menegakkan hak pendidikan yang adil dan merata, meski harus menghadapi kesulitan anggaran. Prinsip “public trust” juga harus dipegang teguh—pemerintah adalah wakil rakyat yang harus memprioritaskan kepentingan rakyat, bukan semata-mata efisiensi yang mengorbankan kesejahteraan banyak orang.
Jika pemerintah terus menerus memperlakukan pendidikan seperti barang yang bisa dipotong-potong demi memenuhi target fiskal, maka kita sedang bergerak mundur dari cita-cita negara hukum yang adil dan makmur. Pada akhirnya, kita tidak hanya merugikan mahasiswa, tetapi juga merugikan masa depan bangsa ini. (*)
Dapatkan berita terbaru PRANALA.co di Google News dan bergabung di grup Whatsapp kami
Discussion about this post