Joni Muslim adalah seorang pengusaha terkenal di Kota Bontang. Siapa sangka, kisah hidupnya penuh cerita. Sejak usia 7 tahun sudah ditinggal ayah selamanya. Bahkan, dirinya tak pernah menemukan jasad apalagi sempat ikut menguburkan ayah tercintanya, Umar.
JONI MUSLIMÂ lahir dari keluarga sederhana. Ayahnya, Umar adalah salah satu tokoh masyarakat di Tanete Rilau (Pekkae) kabupaten Barru, Sulawesi selatan. Lahir dari keluarga religi, kakeknya sendiri adalah guru mengaji di kampung kelahirannya, Barru.
Selain terkenal religi, ayahnya Joni, Umar terkenal sebagai pedagang ulet. Berdagang menyeberangi lautan dari Barru ke Bontang membawa barang dagangannya dengan menumpang kapal kayu ke Bontang. Umar membawa berbagai macam hasil bumi termasuk rempah-rempah. Lalu kembali ke Barru membawa kayu bahan bangunan. Dari hasil perdagangannya inilah, Umar membesarkan tiga orang anaknya, yaitu Joni dan kedua adiknya, Nurdiana dan Faisal yang juga anggota DPRD Bontang. Atau dikenal Faisal FBR.
“Jiwa pengusaha dan berdagang itu memang sudah turun dan mendarah daging dari ayah saya. Makanya saya memang melakoni dagang sejak kecil,” kata Joni belum lama ini.
Jika mengenang Ayahnya, Joni selalu sedih. Dia sudah ditinggal ayah untuk selamanya sejak masih duduk di kelas 2 Sekolah Dasar (SD). Joni masih berusia 7 tahunan.
Kepergian ayahnya, Umar memang tak pernah disangka. Umar yang berprofesi sebagai pedagang harus bolak-balik Barru-Bontang tiap saat. Berdagang rempah-rempah hasil perkebunannya. Bukan saja itu, Umar juga kerap mengumpulkan hasil perkebunan tetangga sekitar untuk dijual ke Bontang. Jika sudah berdagang, Joni baru bisa bertemu ayahnya dalam sebulan hitungan jari saja.
“Jarang ketemu Bapak. Kalau sudah berjualan ke Bontang sampai sebulanan baru pulang ke rumah,” kata Joni.
Bagi Joni, kala ayahnya pulang ke rumah. Itulah kesempatan untuk dekat dan bermanja kepada ayah. Sebagai anak kecil, yang dia tahu kalau ayahnya pulang berdagang pasti bawa uang banyak. Kesempatan itu tidak di sia-siakan untuk merengek dibelikan jajanan maupun mainan yang dijual di warung yang ada di kampungnya. Bagi sang ayah, pertemuan dengan Joni dan kedua adiknya juga merupakan kesempatan berharga. Karena beberapa hari bertemu, beliau kembali lagi berlayar.
“Saya merasakan perhatian yang sangat besar dari ayah pada waktu itu kata Joni. Kalau lagi di rumah pasti beliau tanya mengenai keadaan sekolah; Apakah saya bolos atau tidak. Kalau masalah mengaji tidak terlalu diperhatikan, karena beliau yakin pasti saya rajin karena kakek sendiri guru mengaji saya,” kenang Joni.
Usai melepas kangen beberapa pekan, ayahnya pun harus kembali berdagang ke Bontang. Tak ada firasat apapun kala itu, jika itu adalah pertemuan dia dengan ayahnya. Paling diingat Joni saat itu adalah, kala dirinya mencium tangan ayah, lalu ayahnya mencium dahinya lalu berpesan. “Rajin sekolah ya Nak,” ujar Joni menirukan.
Kalimat terakhir dari ayahnya itu menjadikan penyemangat dan selalu yang Joni simpan untuk mengarungi hidup. Bagi Joni, pesan itu bermakna agar dia harus menempuh pendidikan setinggi-tingginya. Pesan itu tentu tidak didapatkan oleh kedua adiknya karena waktu itu mereka masih kecil dan belum mengenyam bangku sekolah.
“Sama dengan penumpang yang lain, siang itu ayah saya sibuk menaikkan barang dagangannya ke atas kapal. Sebab, sore itu kapal tersebut akan berlayar menuju Bontang. Saya sama sekali tidak menduga kalau kecupan beliau di dahi saya pada hari itu merupakan kecupan terakhir dan pesan yang terngiang di telinga saya juga merupakan pesan terakhir yang disampaikan kepada saya,” ujar Joni.
Memang kapal yang digunakan adalah kapal berbahan kayu. Sangat berisiko untuk pelayaran yang mengarungi laut lepas. Apalagi, dengan gelombang laut dahsyat yang sangat sering terjadi pada jalur pelayaran antara Barru ke Bontang. Namun risiko seperti itu belum terpikirkan karena memang cuma kapal seperti itu yang tersedia dan selama sekian lama aman-aman saja. Alat keselamatan saja mungkin tidak tersedia, apalagi asuransi.
Perjalan ke Bontang pada waktu itu Joni anggap perjalanan seperti biasanya. Joni yakin ayahnya akan kembali seperti biasa. Namun ternyata perjalanan kali ini beda. Ketika jadwal ayahnya sudah seharusnya tiba, ternyata belum tiba juga. Diduga ini karena gelombang besar sehingga kecepatan kapal agak lambat. Ditunggu hingga keesokan harinya tak kunjung juga tiba. Ibunya pun mulai cemas dan menangis, khawatir atas keselamatan ayahnya.
Sudah sepekan tak ada kabar. Kapal yang seharusnya tiba di Barru tak kunjung bersandar. Umar dan romobongan tak kelihatan batang hidungnya. Tak ada yang bisa di perbuat selain berdoa. Joni kecil belum banyak paham apa yang terjadi. Siang malam ibunya terus berdoa, tetangga ikut berupaya mencari kabar. Namun semuanya nihil. Umar, sang ayah tak ditemukan. Hilang bersama kapal tumpangannya.
Setelah upaya dilakukan namun hasilnya nihil, akhinya kapal dinyatakan hilang oleh pemda setempat. Ibunya pun tak berhenti menenangis. Joni masih berusia 7 tahun hanya bisa tertegun. Tak tahu harus berbuat apa. Dirinya dan kedua adiknya hanya bisa berdoa saja. Sebagai orangtua tunggal (single parent) tentu tidak seberat jika ayah masih hidup. Sekaligus ibu harus bekerja ganda menjalankan fungsi ibu dan fungsi ayah.
“Saya ingat waktu itu beberapa hari di lakukan pengajian di rumah sambil mendoakan agar ayah selamat. Walaupun tak ada lagi harapan ayah selamat namun jika Allah berkehendak, semua itu bisa terjadi. Dan kalau memang ayah telah meninggal, doa kami kiranya ayah selamat menghadap Allah. Banyak sekali keluarga yang bersimpati kepada saya dan kedua adik saya, walaupun kami belum banyak memahami apa arti kematian dan apa dampaknya untuk perjalanan hidup kami selanjutnya,” urai Joni. (Bersambung/red)
Discussion about this post