Sosok makhluk ini terkenal sebagai macan dahan yang senantiasa mengeluarkan bunyi ‘kung kung kung’, sayup nan menggetarkan hati.
pranala.co – Masyarakat Dayak di Kalimantan memiliki legenda yang eksotis dalam budaya tuturnya, yaitu cerita tentang sosok mitologi penjaga hutan yang mereka kenal dengan nama Kek Catok. Sosok makhluk ini terkenal sebagai macan dahan yang senantiasa mengeluarkan bunyi ‘kung kung kung’, sayup nan menggetarkan hati.
Direktur Wahana Lingkungan hidup (Walhi) Kalimantan Barat (Kalbar) Blasius H Chandra, mengenang suara itu sangat menggetarkan jiwa tetapi juga menyeramkan. Ketika dirinya masih kecil, pernah suara itu muncul di tengah malam kala bermalam bersama orang tuanya di pondok ladang.
“Tengah malam di pondok ladang, suasana sangat hening. Ada suara serangga dan juga desah angin. Nah, sesekali terdengar suara ‘kung, kung, kung’ yang sayup. Tetapi menggetarkan hati. Hingga sekarang saya tak bakal lupa kesan itu,” ucap Blasius.
Bahkan, ketika sekarang dirinya telah menjadi seorang aktivis lingkungan, suara mistis itu beberapa kali pernah di dengarnya. Misalnya ketika dirinya pada malam hari berada di Bukit Sedayang, pedalaman Kabupaten Ketapang, suara mistis itu kembali terdengar.
Pada malam itu, suara itu masih tetap menggetarkan hati seorang Blasius, padahal dirinya tengah hidup di abad modern. Tetapi baginya, ingatan masa kecilnya tentang sosok penjaga hutan Bernama Kek Catok yang ditanamkan orang tuanya masih tertanam.
Menurut penuturan orang tua zaman dahulu, Kek Catok merupakan jenis macan dahan, berkulit hitam, berbadan besar, dan bersuara menggema. Apabila sosok ini bersuara, berbagai isyarat bisa ditangkap oleh para sesupuh.
Di antaranya isyarat buah-buahan di hutan akan melimpah atau sebaliknya panen ladang akan gagal atau terkena serangan sampar. Karena itulah dirinya yakin bahwa sosok Kek Catok merupakan bagian dari komponen alam.
Walau banyak masyarakat yang menganggap sosoknya ini makhluk mistis, tetapi ini merupakan bagian dari kearifan tradisi. Karena itulah, suara Kek Catok hanya bisa terdengar di kawasan hutan yang masih lestari, seperti rimba belantara yang belum terjamah tangan panas kapitalis.
Mereka mempercayai bahwa sosok Kek Catok sebagai mahkluk penjaga hutan, karena mampu mengendalikan kerakusan manusia yang ingin merusak dan mengambil kekayaan hutan seenaknya.
Itu sebabnya, masyarakat Suku Dayak Simpakng senantiasa mengelola hutan secara lestari, mempertahankan tradisi berladang, dan menolak perkebunan monokultur yang merusak alam.
Karena itulah di area hutan yang pernah terdengar suara Kek Catok, belum ada manusa yang berani merambahnya. Contohnya, bukit Sedayang yang hingga kini masih dipenuhi oleh lebatnya buah durian, madu pohon, air jernih, udara segar, dan aneka hasil alam.
Suara yang menggetarkan jiwa itu boleh jadi bakal sirna seiring ekspolitasi hutan gila-gilaan di Bumi Kalimantan. Pandangan prokapitalis tak bakal melihat kelestarian secara utuh.
Hal ini terbukti dari upaya korporasi yang tidak segan menggusur hutan adat, perkuburan, bahkan tembawang. Padahal tembawang merupakan bekas kampung tua, yang pernah ada kehidupan manusia lengkap dengan perkakasnya.
Kesaksian serupa pernah diutarakan oleh aktivis lingkungan dari Kabupaten Sintang, Shaban Stiawan. Pria kelahiran Sintang ini mengaku pernah mendengar suara mistis itu di belantara rimba. Di daerahnya, makhluk ini dikenal dengan remaong, dan ketika kecil dirinya sering mendengar suara menggetarkan hati itu.
Makhluk ini memang memiliki beragam nama pada masing-masing daerah, misalnya di Desa Balai Semandang, Kabupaten Ketapang, Kalbar, sekitar 120 kilometer dari Pontianak, sosok ini disebut Kek Tung. Dia hanya bersuara di tengah rimba belantara dan jarang-jarang orang bisa melihat wujud aslinya.
Sementara itu FX Beleng seorang tokoh Dayak Simpakng yang telah lama tinggal dan bekerja di Pontianak menyatakan hikayat ini telah menyatu dalam ritme kehidupan masyarakat pedalaman sebagai penjaga hutan yang paling tua.
“Selain Kek Catok, kami juga menyebutnya togukng, macan dahan, serta remaong. Wujudnya benar-benar berupa satwa, tetapi memiliki nilai mistik melalui suaranya. Jika bersuara, isyarat akan terjadi sesuatu, pada umumnya ke arah yang buruk,” tutur pria yang oleh Komunitas Dayak Simpakng di Kota Pontianak diberi kepercayaan sebagai tamongokng atau semacam kepala adat, seperti ditulis Kompas.com.
Menurut Beleng beberapa isyarat buruk ini bisa jadi berupa gagal panen, tokoh tertentu ada yang meninggal dunia, serta malapetaka. Sedangkan isyarat onya sumakng labatn atau orang yang menikah dan mempunyai hubungan sedarah yang sangat dilarang oleh adat.
Tetapi menurutnya, manusia sekarang bisa berhubungan dengan togukn melalui keturunannya yang masih hidup hingga kini. Misalnya mereka meminta bantuan untuk mengobati suatu penyakit, atau sebaliknya untuk berperang.
Diceritakan juga oleh Baleng, pada 2007 di Desa Sekatep Kecamatan Simpang Dua, sekitar 240 kilometer dari Kota Pontianak, diduga ada togukng yang ditembak warga. Dirinya pun bergegas ke rumah warga itu dan mengamati bangkai hewan yang sekira ukuran kambing jantan itu.
Menurutnya bangkai hewan itu memilki ciri-ciri yang persis dengan togukng. Terutama ada keanehan di tubuhnya, yakni guratan menyerupai gambar pedang, senapan lantak dan atribut masyarakat Dayak. Baleng menyebut terkadang togukng bisa terkena nasib nahas yang dalam bahasa lokal disebut kempunan.
Kempunan merupakan malapetaka yang sewaktu-waktu bisa menimpa tanpa diprediksi. Biasanya ini terjadi ketika kita tidak menyentuh makanan yang ditawarkan seseorang sebelum bepergian. Makannya dalam tradisi Dayak, ketika hendak berpergian, lalu tiba-tiba ditawarkan minuman haruslah diterima.
“Togukng pun bisa saja kempunan, entahlah apa sebabnya. Akibat kempunan itu, dia bisa mati tertembak peluru,” tandasnya.
Ketika itu, Beleng menceritakan bahwa pemburu itu sering bermimpi bahwa yang ditembak adalah anak macan. Karena itu ada semacam ancaman, jika dia kembali masuk hutan dan berjumpa dengan kerabat togukng lainnya, maka dia akan dibunuh sebagai balas dendam kesumat.
“Tiga bulan lamanya, sang penembak itu tak berani keluar rumah. Kami menggelar ritual adat ngurokng minu, artinya mengurung semangat si penembak, agar tidak mengembara ke mana-mana. Ritual ini dipimpin oleh seorang dukun, yang minta perlindungan kepada Yang Kuasa agar tak terjadi mara bahaya,” ujarnya.
Melacak jejak macan dahan Kalimantan
Di daerah Desa Butong, Kecamatan Teweh Tengah, Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah (Kalteng) pernah dikagetkan dengan tertangkapnya binatang liar yang ternyata macan dahan (Neofelis diardi borneeensis). Penemuan ini membuat gempar masyarakat di sekitar tempat tinggal yang tidak jauh dari SDN 1 Butong.
Alwi Gandrung, warga Muara Teweh mengatakan kepercayaan masyarakat setempat dengan tertangkapnya hewan langka ini dianggap sebagai tanda kesialan, baik bagi penemu maupun binatang tersebut. Menurutnya binatang ini sulit ditemukan sehingga bagi orang yang bisa mendapatkan berarti mengalami sial.
“Bahkan kepercayaan orang Dayak, binatang ini merupakan hewan jadi-jadian atau makhluk halus dan baru kali ini macan dahan bisa ditangkap,” katanya.
Sementara itu Kepala Kantor Seksi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah IV Muara Teweh Yusuf Trismanto mengatakan populasi hewan ini sudah mulai terancam. Pasalnya hutan yang selama ini menjadi habitatnya sudah banyak tergusur dijadikan kawasan perkebunan, kegiatan perusahaan HPH maupun pertambangan.
Menurut Yusuf kemungkinan karena kelaparan sehingga tidak menemukan binatang lain untuk jadi santapan, sehingga macan dahan yang selalu hidup di atas pohon harus turun ke tanah guna mencari makanan. Tetapi terancamnya hewan ini bukan karena perburuan ataupun dibunuh, pasalnya satwa langka ini memang sulit ditemukan.
Balai konservasi Sumber Daya Alam Kalteng telah memasang kamera di lokasi Lembaga penelitian di dalam hutan Taman Nasional Sebangau, Kalteng. Beberapa foto terekam mengenai aktivitas macan dahan di daerah hutan dan jembatan kanal air yang biasa dilintasi manusia.
Macan dahan termasuk dalam ratusan jenis hewan langka yang dilindungi UU No 55/1955 tentang Konservasi dan Sumber Daya Hayati. Dalam Undang-Undang tersebut Pasal 40 mengatur jelas semua orang dilarang menangkap dan memiliki hewan-hewan langka.
Mengacu kepada data World Wildlife Fund (WWF), macan dahan yang baru diketahui diperkirakan tersisa 5.000 hingga 11.000 di Kalimantan dan 3.000 hingga 7.000 di Sumatra.
Harapan hidupnya kini hanya tersisa di kawasan jantung Pulau Kalimantan dengan hutan tropis seluas 22.000 kilometer persegi yang telah ditetapkan Pemerintah Indonesia, Malaysia dan Brunei Darussalam sebagai kawasan konservasi. [red]
Discussion about this post