KEPALA Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) XII Balikpapan nonaktif Refly Ruddy Tangkere dituntut 6 tahun hukuman penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan. Refly diyakini menerima uang suap dari Hartoyo selaku pemilik PT Harlis Tata Tahta agar mendapat proyek pekerjaan jalan di Kalimantan Timur.
Jaksa KPK membacakan surat tuntutan di Pengadilan Tipikor Samarinda, Kaltim, Rabu (27/5/2020). Bunyinya; Supaya majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan pidana selama 6 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan pidana denda Rp 250 juta subsider pidana pengganti 6 bulan kurungan.
Jaksa menyebut perbuatan Refly itu dilakukan bersama-sama dengan pejabat pembuat komitmen di Satuan Kerja Pelaksanaan Jalan Nasional XII Balikpapan Andi Tejo Sukmono. Dalam sidang ini, Andi Tejo dituntut 7 tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan kurungan.
“Supaya majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan pidana selama 7 tahun dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dan pidana denda Rp 300 juta subsider pidana pengganti 6 bulan kurungan,” ujar jaksa.
Jaksa menyebut Refly dan Andi Tejo diduga menerima uang suap dari Hartoyo dengan total Rp 9.001.990.000. Uang itu kemudian dibagi dua masing-masing Rp 1.400.000.000 untuk Refly dan Rp 7.601.990.000 untuk Andi.
Tak hanya itu, jaksa menyebut Andi juga menerima uang suap lain dalam bentuk fasilitas tiket pesawat senilai Rp 47.376.975 dan pembayaran hotel senilai Rp 25.760.094. Jaksa menyebut uang itu dimaksudkan agar Andi Tejo memenangkan PT Harlis Tata Tahta milik Hartoyo dalam pelelangan dan melancarkan proyek pekerjaan preservasi rekonstruksi Sp.3 Lempake-Sp.3 Sambera-Santan-Bontang-Dalam Kota Bontang-Sangatta di Provinsi Kalimantan Timur.
Selain itu, jaksa meminta majelis hakim menjatuhkan pidana uang pengganti masing-masing senilai Rp 620 juta untuk Refly dan Rp 2,3 miliar untuk Andi Tejo. Jaksa mengatakan pidana uang pengganti itu harus dibayar paling lambat satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak dibayar, harta benda kedua terdakwa akan disita dan dilelang untuk kas negara.
“Selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, jika dalam jangka waktu tersebut masing-masing terdakwa tidak dapat membayar uang pengganti, harta bendanya akan disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut,” sebut jaksa.
Atas perbuatannya, kedua terdakwa diyakini melanggar Pasal Pasal 12 huruf a atau Pasal 18 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantas Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Berita sebelumnya, KPK menduga ada suap mengalir ke pembangunan jalan nasional di Kalimantan Timur yang nilai proyeknya Rp 155 miliar. Kementerian PUPR sendiri masih enggan memberi tahu di proyek mana kasus korupsi ini terjadi.
“Kita belum tahu, sudah ada dugaan memang tapi nanti resminya dari konfirmasi KPK. Yang pasti itu adalah proyek jalan kontrak tahun jamak, lokasi di Kaltim, sesuai keterangan terakhir bu Basaria (KPK),” kata Irjen Kementerian PUPR Widiarto di kantornya, Rabu (16/10/2019).
Menurut Widiarto di Kaltim sendiri ada beberapa proyek yang berjalan mulai dari jalan nasional hingga jembatan. Di Kaltim ada beberapa paket. Ada beberapa paket preservasi jalan dan jembatan.
KPK sudah mengamankan 3 orang soal kasus korupsi jalan nasional di Kaltim, Kepala BPJN Refly Ruddy Tangkere ditangkap di Jakarta dan kedua stafnya terpisah di Samarinda dan Bontang.
Santer dikabarkan kasus korupsi ini terjadi di paket proyek jalan Samarinda-Bontang. Nilai suapnya sendiri ditaksir Rp 155 miliar.
Proyek tetap jalan
Lantas dengan tersandung kasus korupsi apakah proyek jalan tetap berlanjut? Widiarto menegaskan proyek jalan tetap berlanjut. “Proyek pasti tetap berlanjut. Karena dalam rangka menjaga layanan kepada masyarakat,” terangnya.
Untuk itu dalam rangka menjaga kelanjutan pekerjaan proyek, Widiarto menegaskan akan ada penggantian pejabat di BPJN Kaltim. Penggantian itu dilakukan usai KPK umumkan penetapan status.
“Kita antisipasi berbagai kemungkinan termasuk membebas tugaskan pejabat terkait dan menyiapkan pejabat pengganti. Kalau memang sudah ada penetapan status, dalam rangka menjaga kelanjutan pekerjaan bisa jadi ada pergantian,” kata Widiarto. (*)
Discussion about this post