pranala.co – Angka kasus perkawinan anak di Kalimantan Timur masih tinggi. Meski mengalami penurunan, namun pada tahun 2021 angkanya mencapai 1.089 kasus.
Jumlah tersebut menurun jika dibandingkan dengan tahun 2020 yang mencapai 1.159 kasus.
Kepala Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim Noryani Sorayalita menjelaskan perkawinan usia anak harus diturunkan.
Hal itu karena dampaknya sangat kompleks bagi yang bersangkutan termasuk anak yang akan dilahirkan.
“Secara fisik pasti ada perubahan yang bisa menyebabkan penyakit kanker dan penyakit lainnya karena perkawinan masih usia anak,” katanya dikutip dari Instagram Pemprov Kaltim, Minggu (08/05/2022).
Selain secara fisik, kata dia, secara mental juga akan menarik diri dari lingkungannya, dikarenakan di usia anak sudah mempunyai keturunan (anak).
“Kesiapan mental dan fisik, baik laki-laki maupun perempuan yang melangsungkan pernikahan usia dini juga mempengaruhi masalah kedepannya. Kesiapan mereka menjadi suami, istri, bahkan orang tua yang rapuh disebut membuat keluarga ini rapuh,” kata doa.
Perkawinan usia anak juga memicu stunting (anak kekurangan gizi) dan sebagainya. Pertama memang asupan gizi, tetapi secara fisiknya belum siap karena rahim asupannya gizinya tidak langsung ke bayinya.
Soraya menambahkan penyebab utama perkawinan usia anak adalah masalah ekonomi. Selain itu, budaya kultur masih adanya perjodohan, kemudian pergaulan bebas.
“Dampak lain perkawinan usia anak memicu perceraian, karena secara fisik maupun mental memang belum siap, sehingga sering terjadi perselisihan dan sebagainya,” ujarnya.
Selain itu, pernikahan usia anak juga salah satu penyumbang kematian ibu dan bayi. Ini karena perkawinan usia muda yang menyebabkan rahim masih belum siap.
“Apalagi ditambah sosial ekonomi dan psikologi dari para ibu,” tandasnya.
Di samping pemerintah dengan program-programnya, masyarakat dan orang tua juga berperan jangan sampai pernikahan dini ini terjadi.
Peran semua pihak harus diwujudkan untuk menciptakan ekosistem mencegah pernikahan usia dini. Soraya berpesan harus ada partisipasi dari masyarakat dan orangtua, utamanya, untuk membimbing anaknya sendiri agar tidak terjerumus bahkan melakukan pernikahan usia dini secara terpaksa.
Dampak Buruk Perkawinan Anak
PERKAWINAN Anak Usia Dini banyak memberikan dampak buruk, terutama bagi anak perempuan. Untuk perempuan di usia 10 sampai 14 tahun, resiko kematian saat melahirkan lima kali lebih besar, karena secara medis alat reproduksi mereka belum cukup matang untuk melakukan fungsinya.
Menurut penelitian dari Kanada dan Indonesia, usia Rahim prima secara fisik berada pada usia diatas 20 tahun dan kurang dari 35 tahun.
Dampak lainnya, perempuan berisiko mendapatkan komplikasi yang terkait dengan persalinan yang jauh lebih tinggi, seperti fistula obstetri, infeksi, pendarahan hebat, anemia dan eklampsia.
Tidak hanya berbahaya bagi ibu, anak yang dilahirkan pun tidak luput dari risiko. Selain risiko kematian pada bayi dua kali lipat sebelum memasuki usia satu tahun. Ibu berisiko melahirkan anak secara premature dan stuning (kekurangan asupan gizi).
Karena mengalami pernikahan secara dini, banyak pula anak perempuan yang mengalami putus sekolah. Dengan tingginya anak putus sekolah, mempengaruhi rendahnya tingkat Index Pembangunan Manusia (IPM).
Dengan tingginya angka putus sekolah, semakin kecilnya kesempatan kerja bagi perempuan. Selain menjadi istri, pasangan seks maupun mengurus anak, tidak sedikit perempuan yang masih ingin memiliki karir di pekerjaan.
Masalah psikologis dan mental juga tidak dapat dipandang sebelah mata. Dengan usia yang belum matang, akan sering terjadi percekcokan dan tidak jarang berujung pada kekerasan, baik fisik maupun verbal. (js/id)
Discussion about this post