pranala.co – Wakil Ketua DPRD Bontang, Junaidi angkat bicara terkait kabar soal pergantian dirinya dengan Sitti Yara.
Saat dihubungi media ini, Junaidi terkesan irit bicara. Politisi muda Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu mengaku isu tersebut tidak benar adanya. Dia membantah. Bahkan dia mengklaim jika hubungan dan koordinasi dengan partai besutan Cak Imin ini baik-baik saja.
“Enggak ada masalah. Ini kami sering ngumpul dan koordinasi. Jadi enggak benar isu itu,” kata Junaidi saat dihubungi media ini, Selasa (10/5/2022) malam.
Meski begitu dia tak menampik jika ada evaluasi partai terkait unsur pimpinan tanpa merinci hal tersebut. “Hanya evaluasi saja kok. Nanti lengkapnya tanya saja DPC ( DPC PKB Bontang, red),” singkatnya.
Memang, Ketua DPW PKB Kaltim Syafruddin menepis jika ada surat usulan pergantian Junaidi sebagai Wakil Ketua DPRD Bontang. Namun, pria yang duduk sebagai anggota DPRD Kaltim ini mengaku jika memang ada evaluasi yang sedang dilakukan terhadap kadernya tersebut.
“Kalau evaluasi, memang ada sih,” ungkapnya, Senin (9/5/2022).
Menurut dia, evaluasi terhadap kader, terutama yang duduk sebagai unsur pimpinan dewan merupakan hal yang wajar di sebuah partai politik. Tidak terkecuali di PKB.
Selain itu, evaluasi terhadap kader Partai PKB yang duduk sebagai anggota DPRD maupun dari sisi kepengurusan partai. Merupakan bagian dari dinamika kepartaian. Yang mana, hal yang demikian terjadi di hampir semua partai politik.
“Kan namanya, anggota dewan (lebih-lebih mereka yang jadi unsur pimpinan) kan punya komitmen dengan partai, dengan DPP PKB. Dan komitmennya itu, ya macam-macam lah ya,” ucapnya.
Walau begitu, pria asal Bima, itu dapat memastikan jika dirinya belum ada menerima surat usulan apapun atas Junaidi sebagai Wakil Ketua DPRD Bontang. Saat ini, PKB Bontang atau PKB Kaltim, baru sebatas melakukan evaluasi terhadap Junaidi.
Sekadar diketahui, masa jabatan pimpinan DPRD terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji pimpinan dan berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan keanggotaan di DPRD.
Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Kabupaten, Dan Kota (PP 12 Tahun 2018), yang menyebutkan bahwa, “Masa jabatan Pimpinan DPRD terhitung sejak tanggal pengucapan sumpah/janji pimpinan dan berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan keanggotaan DPRD”.
Namun, terdapat empat keadaan pimpinan DPRD berhenti dari jabatannya sebelum masa jabatan berakhir. Yakni, jika ia meninggal dunia, mengundurkan diri sebagai pimpinan DPRD, diberhentikan sebagai anggota DPRD sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, atau diberhentikan sebagai pimpinan DPRD.
Jadi secara prinsip, partai politik memang memiliki landasan hukum untuk mengusulkan pemberhentian anggotanya sebagai pimpinan DPRD. Namun, seharusnya partai politik juga harus punya alasan yang rationable dan memadai untuk mengganti anggotanya sebagai pimpinan DPRD
Sebab, sejak saat partai politik mengusulkan anggotanya untuk diangkat menjadi pimpinan DPRD, maka sesungguhnya partai politik sudah menghibahkan anggotanya untuk kepentingan rakyat. Jadi ada hak publik yang mesti dipertimbangkan juga. Untuk itu, mesti jelas apa alasan penggantiannya
Jika yang bersangkutan keberataan terhadap keputusan partai yang mengusulkan pemberhentiannya sebagai pimpinan DPRD, maka ini dikategorikan sebagai “perselisihan partai politik”.
Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol), secara eksplisit menyebutkan bahwa cakupan perselisihan Partai Politik meliputi: perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan, pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik, pemecatan tanpa alasan yang jelas, penyalahgunaan kewenangan, pertanggungjawaban keuangan, dan/atau “keberatan terhadap keputusan Partai Politik”.
Untuk itu, penyelesaian terhadap perselisihan ini harus dilakukan secara internal melalui “Mahkamah Partai Politik” dalam waktu 60 hari sebagaimana diatur dalam Pasal 32 UU Parpol. Terkecuali jika penyelesaian perselisihan tidak tercapai, maka proses berikutnya diserahkan kepada pengadilan negeri (PN) untuk paling lama 60 hari.
Putusan PN merupakan putusan ditingkat pertama dan terakhir, dan hanya dapat diajukan kasasi paling lama 30 hari. Ketentuan ini, dapat dilihat dalam Pasal 33 UU 2/2011 tentang Partai Politik
Begitulah proses formil yang harus ditempuh sebelum pemberhentian pimpinan DPRD dilakukan dalam rapat paripurna untuk ditetapkan melalui Keputusan DPRD. (id)
Discussion about this post