PRESIDEN Joko Widodo resmi menghapus limbah batu bara dari daftar limbah berbahaya dan beracun (B3). Keputusan presiden ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketentuan ini merupakan turunan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.
Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur bereaksi keras dengan kebijakan pemerintah ini. Kaltim merupakan pusat industri pertambangan batu bara di Indonesia dan terdampak langsung kebijakan pemerintah ini.
“Kebijakan ini sangat tidak ramah dengan warga. Sangat berisiko dan fatal akibatnya,” kata Dinamisator Jatam Kaltim Pradharma Rupang, Kamis (11/3).
Sebagai informasi Data dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim izin tambang di Kaltim mencapai 5.137.875,22 hektare atau sama dengan 40,39 persen daratan di Benua Etam. Industri pertambangan terbagi dua; izin usaha pertambangan (IUP) dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B).
Sebelum UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah berlaku di Bumi Mulawarman, kewenangan penerbitan izin ada di tangan para bupati dan wali kota di Kaltim. Ketika itu ada 1.404 IUP diterbitkan dengan total luas 4.131.735,59 hektare.
Sedangkan izin PKP2B datang dari pusat, setidaknya ada 30 PKP2B beroperasi di Kaltim memiliki luas 1.006.139,63 hektare. Dari tujuh perusahaan tambang dengan izin PKP2B terbesar di Indonesia, lima di antaranya berada di Kaltim. Pada 2013 lalu, Jatam Kaltim sempat merilis data mengenai IUP di kawasan Samboja, Kutai Kartanegara. Setidaknya ada 90 izin pertambangan di kawasan Samboja.
Itu sebabnya, Rupang khawatir keputusan presiden menambah masif izin industri tambang di Kaltim. Sehingga dampak negatif kan menjadi tanggungan masyarakat.
Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, Kaltim masih dipusingkan adanya 1.735 lubang bekas tambang galian batu bara. Lubang-lubang ini tersebar di kota/kabupaten Kaltim di mana Kutai Kartanegara menempati peringkat pertama dengan 842 lubang.
Disusul lubang tambang di Samarinda (349) dan Kutai Timur (223). Lubang-lubang tersebut merupakan bekas tambang sudah ditinggalkan maupun yang masih beroperasi.
“Jika aturan ini dibiarkan warga akan semakin rentan dengan limbah batu bara ini,” tegasnya.
Lebih lanjut, Rupang menerangkan, umumnya limbah batu bara ini terbagi dua. Pertama itu fly ash kemudian yang kedua bottom ash (FABA). Abu terbang dan abu padat biasanya dekat dengan jeti atau koveyor batu bara. Baik itu di sungai maupun pesisir laut. Pun demikian dengan Perusahaan Listrik Tenaga Uap atau PLTU.
Kedua abu ini juga punya ragam senyawa yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia. Misalnya saja arsenik, timbal, merkuri hingga kromium. Bayangkan saja bila zat kimia mematikan tersebut masuk dalam tubuh.
“Jeti atau PLTU ini banyak di Kaltim dan lazim berada dalam lingkaran permukiman warga. Akan sangat berbahaya bila aturan ini legal. Perusahaan tak perlu lagi capek-capek berurusan dengan limbah berbahaya tersebut,” tegasnya.
Lebih lanjut, Rupang menerangkan, umumnya limbah batu bara ini terbagi dua. Pertama itu fly ash kemudian yang kedua bottom ash (FABA). Abu terbang dan abu padat biasanya dekat dengan jeti atau koveyor batu bara. Baik itu di sungai maupun pesisir laut. Pun demikian dengan Perusahaan Listrik Tenaga Uap atau PLTU.
Kedua abu ini juga punya ragam senyawa yang sangat berbahaya bagi tubuh manusia. Misalnya saja arsenik, timbal, merkuri hingga kromium. Bayangkan saja bila zat kimia mematikan tersebut masuk dalam tubuh.
“Jeti atau PLTU ini banyak di Kaltim dan lazim berada dalam lingkaran permukiman warga. Akan sangat berbahaya bila aturan ini legal. Perusahaan tak perlu lagi capek-capek berurusan dengan limbah berbahaya tersebut,” tegasnya.
Discussion about this post