PRANALA.CO – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mendesak pemerintah membuka evaluasi perpanjangan kontrak bagi lima perusahaan tambang di Kalimantan Timur (Kaltim) dan Kalimantan Selatan (Kalsel) yang sudah atau akan habis masa kontraknya pada 2020-2023.
Perusahaan tersebut meliputi PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Multi Harapan Utama (MHU), PT Berau Coal (BC), PT Kideco Jaya Agung (PT KJA), dan PT Arutmin.
Dinamisator Jatam Kalimantan Timur Pradarma Rupang mengatakan dengan berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, maka kelima perusahaan itu bisa mendapat perpanjangan kontrak hingga dua kali, masing-masing 10 tahun.
“Kami kan juga mempertanyakan perlakuan perpanjangan ini, karena tidak melibatkan masyarakat. Pemerintah bilang dievaluasi. Pertanyaannya, seperti apa bentuk evaluasinya dan gimana hasil evaluasi? Kenapa publik, warga di Kaltim tidak bisa akses?,” pungkas Rupang, mengutip CNN Indonesia, Selasa (16/3/2021).
Rupang mengaku Jatam maupun masyarakat setempat sudah berulang kali berupaya mengakses informasi terkait jejak kelima perusahaan itu di wilayah Kaltim dan Kalsel. Surat permohonan keterbukaan informasi dilayangkan Jatam kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif pada 2 September 2020, namun tidak digubris.
Jatam kemudian melayangkan surat kedua terkait keberatan permohonan informasi publik ke Arifin pada 23 September 2020. Surat itu baru dijawab pada 12 November.
Dalam surat, Arifin menolak membuka informasi Pertambangan Raksasa Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) karena dikategorikan sebagai data yang dikecualikan.
Menurut Jatam, data tersebut seharusnya berhak dikonsumsi publik karena terkait dengan keputusan dan kebijakan yang mempunyai pengaruh dan dampak terhadap warga korban pertambangan. Jatam pun mengultimatum Arifin agar menaati UU Keterbukaan Informasi Publik.
“Kami butuh informasi itu secara terbuka. Pemerintah mengatakan evaluasi itu dilakukan oleh antar pemerintah. Coba buka notulensinya. Percakapan bagaimana prosesnya itu,” tutur Rupang.
Mengutip catatan Jatam beberapa tahun ke belakang, sejumlah perusahaan yang disebut di atas memberikan jejak buruk pada kesejahteraan masyarakat setempat atau terhadap kelangsungan lingkungan di sekitar wilayah pertambangan.
Pada 2016, Jatam mengungkap PT Kaltim Prima Coal diduga melakukan tindak kekerasan hingga menyebabkan salah seorang warga perempuan, Dahlia, dirawat di rumah sakit. Dahlia memiliki tanah seluas 13 hektare di Desa Sepaso Selatan, Kecamatan Bengalon, Kutai Timur, Kaltim.
Pada 12 Februari 2016, Dahlia bersama ketiga anaknya dihadang aparat kepolisian dan security perusahaan ketika hendak berkebun di lahan tersebut. Mereka kemudian diamankan. Ketika mencoba melawan, Dahlia diseret dan dibawa ke pondok perusahaan. Di sana ia diinapkan bersama salah satu anaknya dan tidak diberi makan atau minum.
“Dalam catatan Jatam Kaltim, kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan (PT) KPC juga pernah dipraktikkan kepada warga Dayak Basap Keraitan di Bengalon yang dipaksa pindah dari kampungnya dengan diintimidasi,” tulis situs resmi Jatam.
Kasus kekerasan serupa juga didapati pada tahun yang sama di area pertambangan milik PT Multi Harapan Utama. Jatam melaporkan pada 16 Juli 2016 terdapat tindak kekerasan berupa pembacokan terhadap seorang pengacara, OS, dan anggota TNI berpangkat mayor, CHK. Konflik diduga karena sengketa lahan.
Itu bukan jejak kelam pertama yang berkaitan dengan PT MHU. Jatam mencatat terdapat kasus anak meninggal di lubang tambang PT MHU di Kutai Kartanegara pada 2015 dan serangkaian intimidasi hingga kekerasan terhadap warga dan aktivis anti tambang pada 2016.
Menurut Jatam, perusahaan ini juga sudah berulang kali disanksi oleh pemerintah daerah dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) atas perbuatannya. Namun tindak kejahatan disebut terus berulang.
[cnn]
Discussion about this post