Pranala.co, SANGATTA – Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kutai Timur alias Disnakertrans Kutim meminta PT Pama Persada Nusantara meninjau ulang penggunaan jam tangan pintar Operator Personal Assistant (OPA) di lingkungan kerja mereka.
Alat yang digunakan untuk memantau kondisi fisik, tingkat kelelahan, dan jam istirahat karyawan itu dinilai belum memiliki dasar hukum yang kuat karena tidak tercantum dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara perusahaan dan pekerja.
Kepala Disnakertrans Kutim, Roma Malau, menegaskan bahwa perusahaan perlu melakukan evaluasi serius atas kebijakan tersebut.
“Pemakaian jam OPA harus ditinjau kembali oleh pihak manajemen. Karena masih banyak alternatif lain yang bisa diterapkan. Apalagi dalam PKB tidak disebutkan soal penggunaan alat itu,” ujarnya, Jumat (31/10/2025).
Roma mengakui, tujuan perusahaan untuk mengurangi risiko kelelahan kerja (fatigue) memang sejalan dengan prinsip Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Namun, ia menilai penerapannya tetap harus memperhatikan hak privasi karyawan serta aturan ketenagakerjaan yang berlaku.
“Setiap perusahaan pasti ingin menjaga keselamatan pekerjanya. Tapi jangan sampai kebijakan itu justru menimbulkan potensi pelanggaran hak pekerja,” katanya.
Menurut Roma, masih banyak cara lain untuk memantau jam kerja dan kondisi fisik karyawan tanpa harus mengorbankan kenyamanan atau melanggar kesepakatan kerja bersama.
“Bisa saja dengan pengawasan manual, pengaturan shift kerja, atau pemeriksaan kesehatan rutin. Tidak harus dengan jam pintar seperti OPA,” tambahnya.
Disnakertrans Kutim telah mengeluarkan rekomendasi resmi agar PT Pama melakukan peninjauan ulang terhadap penggunaan jam pintar tersebut. Pihaknya juga meminta agar pekerja yang sempat terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat kebijakan OPA dapat dipekerjakan kembali.
“Kami sudah minta agar karyawan yang terdampak bisa dipekerjakan kembali,” tegas Roma.
Ia berharap perusahaan bisa lebih terbuka berdialog dengan pekerja maupun serikat buruh dalam menentukan kebijakan terkait keselamatan kerja. Dengan begitu, keseimbangan antara produktivitas dan hak pekerja tetap terjaga.
“Teknologi boleh digunakan, tapi jangan sampai melanggar aturan atau mengabaikan hak manusia di dalamnya,” pungkasnya. (*)
Dapatkan berita terbaru PRANALA.co di Google News dan bergabung di grup Whatsapp kami










