MEMAKSAKAN pelaksanaan pilkada di tengah pandemi harus dibayar mahal. Gelontoran uang rakyat puluhan miliar dari anggaran daerah justru hanya “dinikmati” sebagian rakyat yang menyalurkan hak suaranya pada pilkada 9 Desember lalu.
Meski pemenang pemilu sudah ditentukan, namun tingkat legitmasi calon kepala daerah itu terbilang rendah. Gara-garanya, tingkat partisipasi masyarakat yang cenderung rendah.
Bahkan di Samarinda yang kontestasinya dianggap paling kompetitif karena menghadirkan calon-calon kuat, justru golputnya tertinggi. Padahal, sebagai ibu kota provinsi dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) terbanyak, demokrasi dan politik di Samarinda dijadikan barometer bagi daerah lainnya.
Jika merujuk dari target yang sudah ditetapkan KPU Pusat, jumlah partisipasi pemilih pada pilkada serentak tahun ini harus mencapai minimal 77,5 persen.
Sebenarnya berbagai upaya sudah dilakukan KPU agar masyarakat mau berbondong-bondong datang untuk menyalurkan hak pilihnya. KPU misalnya, diberi suplai berupa Alat Pelindung Diri (APD) serta aturan yang ketat untuk membatasi massa yang hadir.
Dari pantauan pada hari H pencobolosan lalu, para pemilih diberi undangan serta waktu yang ditentukan untuk datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tujuannya untuk mengurangi penumpukan massa untuk mencoblos.
Namun tetap saja hal ini belum cukup untuk menumbuhkan minat masyarakat, khususnya di Samarinda untuk mencoblos ke TPS. Dibandingkan kabupaten dan kota lainnya di Kaltim, terbukti tingkat partisipasi di Samarinda masih sangat rendah. Dari 576.981 DPT, sebanyak 292.892 warga tidak menyalurkan suaranya.
Menanggapi hal ini Ketua Bawaslu Kaltim Syaiful Bachtiar pun tak mengelak. Pasalnya tingkat partisipasi di Samarinda memang demikian, bahkan sebelum adanya Covid-19. “Bisa dilihat dari Pilkada 2015, kondisinya juga sama,” ungkap Syaiful.
Namun Syaiful juga tak ingin menyalahkan pihak penyelenggara. Sebab terbukti, dari selurub kabupaten/kota di Kaltim yang menyelenggarakan Pilkada tahun ini memang tidak ada yang mencapai target nasional yaitu 77,5 persen.
Sementara tingkat partisipasi tinggi tahun ini bisa dilihat di Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu) yaitu 75,41 persen, hampir mendekati nasional. Selanjutnya ada Kutai Barat 71,14 persen, Bontang 70,78 persen, Berau 68,42 persen, Paser 67,23 persen, Kutim 63,64 persen, Balikpapan 59,47 persen, Kukar 56,67 persen. Sedangkan Samarinda dengan tingkat golput mencapai 51,84 persen.
Namun dari angka-angka ini diketahui bahwa tingkat golput justru dipengaruhi oleh jumlah DPT. Artinya, daerah yang DPT-nya paling tinggi diikuti dengan golput yang juga tinggi. Pun daerah yang DPT-nya paling rendah, golputnya pun juga rendah.
Selebihnya Syaiful menyebut angka partisipasi di Kaltim sendiri sebenarnya mencapai angka 60 persen. Sekalipun ada beberapa daerah dengan persentase pemilih baru mencapai 50 persen, namun ada pula beberapa daerah yang meraih partisipasi hingga 70 persen seperti Mahulu, Kutai Barat dan Bontang.
“Memang masih di bawah nasional, tapi untuk mencapai angka 60 persen sudah cukup baik,” pungkas Syaiful. (hun/nha)
Discussion about this post