Pranala.co, BONTANG – Harapan seorang ibu di Kelurahan Tanjung Laut Indah, Kota Bontang untuk menyekolahkan anaknya di sekolah negeri kandas sudah.
Meski rumahnya hanya sepelemparan batu dari sekolah. Sistem zonasi Seleksi Penerimaan Murid Baru (SPMB) memupus mimpinya—hanya karena rumahnya dianggap “terlalu jauh” dalam hitungan digital.
Adalah R, seorang ibu dari Kecamatan Bontang Selatan. Rumahnya hanya berjarak sekira 400 meter lebih sedikit dari SMP Negeri 7 Bontang. Tapi sistem mengatakan: tidak masuk zona.
“Rumah saya dekat sekali. Tapi katanya tidak masuk zona karena lebih dari 400 meter. Padahal cuma lebih sedikit,” keluh R, Rabu (24/7), dengan wajah penuh kecewa.
Tak Lolos di Semua Jalur
R tak menyerah begitu saja. Ia mencoba jalur prestasi. Bahkan sempat mendaftarkan anaknya ke SMP Negeri 3 Bontang. Namun hasilnya tetap nihil. Semua pintu sekolah negeri seolah tertutup.
Terpaksa, ia mengalihkan pilihan ke sekolah swasta. Ia mencoba mendaftar di MTs Al Ikhlas—tapi jalur umum di sana pun sudah ditutup. Yang tersisa hanya jalur berbayar. Itu pun tak bisa ia jangkau.
“Suami saya sudah lama tidak bekerja. Untuk makan sehari-hari saja kami kesulitan,” katanya lirih.
Pilihan terakhir jatuh pada SMP berlabet swasta, sekolah swasta yang masih membuka pendaftaran. Di sana, ia harus membayar Rp450 ribu sebagai biaya masuk. Tak ada uang gedung, tak ada iuran bulanan. Tapi tetap saja, itu jumlah yang berat bagi R.
Kisah R bukan satu-satunya. Di berbagai kota, sistem zonasi yang semula ditujukan untuk pemerataan akses pendidikan justru menciptakan realitas baru: ketimpangan berbasis peta digital.
Di Bontang, sistem SPMB dibagi menjadi empat jalur utama:
- Jalur Domisili – maksimal 400 meter dari sekolah.
- Jalur Afirmasi – untuk keluarga miskin, wilayah 3T, dan anak GTK.
- Jalur Prestasi – berdasarkan nilai ujian atau prestasi lain.
- Jalur Mutasi – bagi anak yang pindah domisili/orang tua.
Ada pula jalur inklusi untuk siswa disabilitas, dengan asesmen khusus.
Namun, yang kerap jadi masalah adalah sistem pengukuran digital berbasis peta. Banyak warga yang nyaris masuk zona, namun tetap tersingkir hanya karena selisih beberapa meter yang tak tampak oleh mata, hanya oleh sistem.
R berharap pemerintah kota—juga pemerintah pusat—bisa mengevaluasi sistem ini. Bagi warga seperti dirinya, sekolah negeri adalah satu-satunya harapan karena keterbatasan ekonomi.
“Sekolah negeri seharusnya jadi pilihan utama bagi warga kurang mampu. Kalau kami pun ditolak, ke mana lagi anak-anak kami harus sekolah?” tegasnya.
Kisah R menggambarkan tantangan nyata masyarakat kecil dalam mengakses pendidikan. Evaluasi menyeluruh terhadap sistem zonasi dibutuhkan. Bukan untuk menghapusnya, tapi agar kebijakan itu lebih manusiawi, adil, dan berpihak kepada yang lemah.
Karena jarak sepelemparan batu seharusnya tidak menghalangi hak anak untuk belajar.
Sementara itu, Pranala.co, sudah berupaya menghubungi Kepala SMP Negeri 7 Bontang Nurhayati. Namun, hingga berita ini dirilis belum mendapat respon. Pesan yang dikirimkan ke nomor WhatsApp nya pun belum dibaca. (fr)







