PRANALA.CO, Tarakan – Seorang siswa di salah satu SMP di Tarakan, Kalimantan Utara, ditemukan tewas di kamar mandi. Dia diduga bunuh diri karena mengalami tekanan saat proses belajar online (daring) selama pandemik (COVID-19).
Kasat Reserse dan Kriminal (Reskrim) Polresta Tarakan, Iptu Muhammad Aldi mengungkapkan sebelum meninggal, siswa berusia 15 tahun itu sempat mengeluhkan soal pelajaran sekolah.
“Berdasarkan keterangan beberapa saksi, korban ini orangnya pendiam tapi pernah mengeluh karena banyak tugas dari sekolah,” kata ujar Iptu Muhammad Aldi dilansir ANTARA, Jumat (30/10).
Menurutnya, jenazah korban sudah divisum di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tarakan. “Hasil visum tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan. Posisi korban lidahnya tergigit dan mengeluarkan kotoran, dugaan awal kami memang merupakan murni gantung diri,” kata Aldi.
Penyidik juga sudah mendatangi memeriksa beberapa saksi menemukan pertama kali yang ada di tempat kejadian perkara (TKP). “Saksi yang diperiksa baik itu dari keluarga atau dari kerabat yang diminta tolong, termasuk orang tua korban,” kata Aldi.
Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Pendidikan, Retno Listyarti mengungkapkan berdasarkan pengakuan ibu korban, siswa tersebut memang pendiam dan memiliki masalah dengan pembelajaran daring.
“Korban lebih merasa nyaman dengan pembelajaran tatap muka, karena PJJ daring tidak disertai penjelasan guru, hanya memberi tugas-tugas saja yang berat dan sulit dikerjakan,” ucap Retno dalam siaran tertulisnya.
Retno menegaskan kasus tersebut bukan kasus pertama siswa meninggal karena belajar daring. Sebelumnya, di bulan yang sama, siswi SMA di Kabupaten Gowa juga bunuh diri karena depresi menghadapi tugas-tugas sekolah yang menumpuk. Sedangkan pada September 2020, seorang siswa SD mengalami penganiayaan dari orangtuanya sendiri karena orangtua sulit mengajari.
Oleh karena itu, KPAI mendorong Kemdikbud, Kementerian Agama RI, Dinas-dinas Pendidikan dan Kantor Wilayah Kementerian Agama untuk melakukan monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) pada fase kedua yang sudah berjalan selama 4 bulan.
“Tidak ada kasus bunuh diri siswa, bukan berarti sekolah atau daerah lain, PJJ nya baik-baik saja, bisa jadi kasus yang mecuat ke publik merupakan gunung es dari pelaksanaan PJJ yang bermasalah dan kurang mempertimbangkan kondisi psikologis anak, tidak didasarkan pada kepentingan terbaik bagi anak,” tegas Retno.
[rus]
Discussion about this post